Best Blogger TipsBlogger Flower Effect
script src="http://kikiefendbat.googlecode.com/files/www.kikiyo.co.cc.kupu2.js" type="text/javascript">

Rabu, 21 Maret 2012

Inilah Cinta Ku Untuk Mu

CINTA adalah cara insan temukan arti, Begitu juga aQ menemukan Arti itu di balik hubungan ini. aQ tahu Cinta ada untuk membuat bahagia, bukan untuk menderita. aQ berusaha untuk tidak cemburu kepada setiap kebahagian orang yang aQ sayangi. Slalu mencoba tersenyum karena orang yang Q cintai bahagia.Termasuk dirimu. Cintamu memang tak dapat Q miliki, tapi bukan berarti ketika aQ tidak dapat memiliki cintamu aku tidak mencintaimu lagi atau bahkan membencimu, karena bila demikian, maka aQ sungguh egois dan mengingkari perasaan diri ini sendiri. Tapi, INILAH CINTA KU UNTUK MU....

Senin, 28 November 2011

Cinta Abadiku

Sebut saja nama ku Malca. Aku adalah wanita yang teramat susah untuk menggambarkan kisah hidupku. Semasa remajaku (th 2000),aku mencintai seorang teman laki-lakiku. Aku mulai meminta pertolangan sahabatku.Sahabatku pun mulai mencari tahu latar belakang Fadli.Namun siapa yang akan tahu kejadian beberapa menit kemudian??? Ternyata sahabatku juga mencintai Fadli. Penghianatan pun mewarnai kisah persahabatan kami. Adu domba semasa remaja berjalan bak air yang mengalair,hingga hal ini membuat aku begitu dibenci oleh Fadli. Dibenci oleh orang yang benar-benar aku cintai. Namun jauh didalam hati ku, aku masih tetap mencintai cinta pertamaku itu. Masa remaja begitu berat aku lalui. Setiap hari harus mendengar berita-berita kesalahan yang seolah-olah aku lakukan. Entah siapa yang memulai berita-berita miring itu, yah.....yang jelas berita-berita itu membuataku sangat sulit untuk bertahan. Singakat cerita masa remaja sudah terlewati, kini aku sudah beranjak dewasa. Kisah dibeberapa tahun yang lalu sudah terlewati. Meski tak mudah melupakan penghianatan seorang sahabat, dan kebencian seseorang yang sangat kita cintai. Bahkan kejadian beberapa tahun silam itu membuat aku tak ingin membuka hati untk pria manapun. Pertengahan tahun 2004, aku bertemu kembali dengan Fadli. Kemudian melalui salah satu situs dunia maya, Aku dan Fadli membuat rencana untuk bertemu. Pertemuan antara kami pun terjadi."Senyumnya masih tetap manis", kataku dalam hati. Beberapa cerita mewarnai pertemuan kami saat itu. Yah...cerita disaat kami itdak bersama. Entah apa rencana Allah, kami terus saja bersama. Dan kebersamaan itu membuat aku begitu yakin kalau memang Fadli lah cinta sejatiku. Bahkan aku sangat menaruh harapan kepada Fadli. Perasaanku tak pernah berubah sedikitpun. Entah ini cobaan atau buah dari segalanya. Fadli menikah dengan wanita lain.. Aku tidak tahu lagi harus menggambarkan perasaanku, hatiku dan fikiranku seperti apa. Berita pernikahannya bak petir di siang hari yang menyambar tubuhku. Tubuhku bergegar, gigiku terkatup rapat dan air mataku mengalir dengan derasnya. Begitu lama aku menutup diri. Mencoba menghindar dari masalah dan kepedihan ini. Aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan Fadli. Aku benar-benar hancur. Kembali semua rencana ini tetap Allah yang berkuasa.Hingga akhir tahun 2010, aku dipertemukan kembali dengan Fadli. Aku tak mau berharap akan cinta yang tak pasti. Apalagi aku sudah tahu bahawa Fadli sudah berkeluarga. Namun harapan itu selalau ada, ketika Fadli mengatakan sebuah kalimat "Aku bercerai." Tak pernah aku sesali pertemuan demi pertemuan ku dengan Fadli. Tapi pertemuan ku kali ini sangat jauh berbeda. Aku difonis Dokter mengidap penyakit Kanker Hati staduim akhir. Jaringan sel kanker ditubuhku sudah semakin berkembang dan membesar. Tapi aku berusaha menyebunyikan kondisi ku ini dari Fadli, dan berusaha untuk tetap kuat dihadapannya. STADIUM AKHIR !!! Kata-kata itulah yang membuat aku ingin bertemu Fadli untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin pertemuanku kali ini dengan Fadli benar-benar berkesan untuk hidupku yang sudah tidak lama lagi. Di suatu tempat yang romantis, dimana hanya ada aku dan Fadli. Aku mencurahkan semua perasaanku kepadanya. Perasaan dari remaja dulu hingga saat ini, saat berada disampingnya. Persaan yang masih tetap mencintainya. Kini saatnya aku dipanggil oleh Allah. Kondisiku melemah. Fadli menyadari kondisiku. Kondisiku yang tak mungkin bertahan lama. "Fadli, dari dulu aku tetap mencintaimu. Kaulah cinta pertama dan terakhirku. Kaulah Cinta Abadiku". Kalimat itu yang sempat aku ucapkan, sebelum aku menghembuskan nafas terakhirku. ##Kisah temanku.

Jumat, 29 April 2011

Kenapa Harus Berpisah ?

Tag pernah aku sangka semuanya akan seperti ini. Ada pertemuan juga ada perpisahan.
Awalnya aku mengenal dia melalui seorang sahabat. Pertemuan kami bisa dibilang tidak berjalan dengan lancar. Tapi mungkin itu bkn sbuah big problem.
2 Minggu kemudian kami mulai smsan...hingga 2 minggu belakangan nie.Ternyata dari perkenalan itu tumbuh benih-benih cinta yang diawali oleh rasa suka dan sayang.
Beberapa kali bertemu cukup bagi kami untuk mengerti maksud perasaan kami masing-masing. Hingga akhirnya kata-kata cinta dari mulut kami masing-masing keluar begitu saja.
Ini lah yang tag pernah aku inginkan. Disaat aku benar-benar menyayanginya..kenapa dia justru memilih kata berpisah.Memilih untuk tidak bersamaku. Apakah dia tahu kalaw berpisah dari orang yang sangat disayang itu bukanlah hal yang mudah. Dan Q rasa dia juga sebelumnya pernah mengalami hal ini. Tapi kenapa kau lakukan kepadaku yang benar-benar menyayangimu.
Mungkin benar bahwa cinta itu tidak harus memiliki.Tapi kenapa setelah 4 tahun lamanya aku kehilangan cinta pertama, sekarang aku harus kehilangan cinta kedua??? apakah harus setelah aku merasakan cinta lagi.
Tag mudah bagiku harus melupakanmu.
Jujur, aku tdk mau menjadi wanita munafik. Jujur aku ingin sekarang ini kau tetap bersamaku, tanpa harus ada kata berpisah diantara kita. Tapi aku juga tdk bisa berbuat apa-apa melihat kau bahagia bersamanya. Aku hanya dapat menahan rasa rindu ini. Menyimpan rasa cinta ini yang setelah 4 taun hilang(ini alasan daru bilang jangan sakitin aku)...namun cinta ini ada lagi setelah aku mengenalmu. Satu pintaku padamu, AKU INGIN KAU TETAP MENYAYANGIKU..WALAUPUN KAU BERSAMANYA.
Terima kasih kau telah hadir di dalam hatiku.

LOVE YOU.

Rabu, 08 Desember 2010

I and My Teacher

Mungkin ini bukan suatu hal yang baik untuk dicontoh, tapi inilah jalan hidupku. Jalan dimana aku dan dia terus bersama dan melakukan hal yang bersifat rahasia.
Dia guruku, Pak Doni. Dan aku Meisha, muridnya. Inilah kami yang selalu melakukan suatu hal yang rahasia.
Pak Doni guru bahasa Inggris. Bagiku dia bukan guru yang enak untuk dipandang. Dia menyebalkan, membosankan, dan menyedihkan. Hampir semua anak tidak menyukainya, yaaachh………..terkecuali hanya sebagian anak yang menyukainya, yang sama menyebalkan seperti dia. Tapi sayang. Aku tidak.
Tak mudah untuk mendapatkan nilai pelajaran yang tinggi, sementara aku tidak pernah sedikitpun menyukai guru yang memberi pelajaran itu. Tapi siapa yang tahu hari esok. Tak satupun diantara kita. Dan hal inilah yang sebelumnya tidak pernah aku sangka akan terjadi diantara aku dan Pak Doni. Sungguh menyebalkan.!!!
Pak Doni selalu datang ketika tak diundang. Jadwallah yang membuatnya datang. Itu meurutnya. Untuk mengajar. Kupikir suatu hal yang buruk akan terjadi ketika ia mengajar. Sedikitpun aku tak pernah memperhatikan apa yang ia jelaskan. Aku tak perduli mau berapapun nilaiku nanti. Aku akan belajar jika bukan dia gurunya. Alasanku membencinya adalah karena dia begitu menyombongkan dirinya sendiri. Mungkin pengalamanlah yang membuatnya menyombongkan dirinya itu, tapi apakah ini wajar ???? dan yakin bahwa ini tindakan yang benar???
Bagiku Pak Doni adalah orang yang bermuka tua, mungkin dia tua di dalam janin ibunya. Hehe..! Sebenarnya cara ia mengajar cukup baik, tapi aku yang tak pernah bisa menerima kehadiranya. Salah satu temanku sangat membencinya, melebihi kebencianku terhadapnya. Itu hal yang wajar. Mereka sempat berkelahi dan saling menyinggung satu sama lain. Mungkin itu suatu hal yang tak penting. Lupakan !!!
Pak Doni cukup lama mengajar, dan mungkin aku harus mencoba untuk menerimanya sebagai guru mata pelajaran yang cukup penting. Materi yang diajarkan olehnya cukup mempengaruhi kelulusan ku nanti. Aku mencoba serius mengikuti setiap kata yang di ucapkan oleh Pak Doni. Sepertinya lidahku sudah keseleo. Bukan gayaku berbicara seperti orang-orang Inggris disana.
Satu hari-satu minggu-satu bulan, aku berusaha terus dan akhirnya aku menyukai pelajaran itu. Tapi aku tak pernah menyangka kalau aku akan menyukai Pak Doni. Tidaaaaaaaakkk !!!!!
Jam istirahat Pak Doni selalu menghampiri aku di kelas, aku tak bisa menghindarinya. Rasanya sulit. Perasaan apa ini. Aku sudah mempunyai pacar. Bagaimana ini ???
Selama berminggu-minggu Pak Doni terus mencari perhatianku. Hingga satu hari pada saat rumahku direnovasi,Pak Doni datang ke rumahku. Aku tidak pernah mengira sebelumnya kalau yang akan datang ke rumah ku hari itu adalah Pak Doni. Mau apa dia? Ketika aku membuka pintu, aku melihat dia yang berdiri disana. Aku kaget dan tidak percaya, refleks aku menutup pintu rumah ku kembali. “Kenapa pintunya ditutup?!!!” itu yang ia katakan. Aku mengatur nafasku, tarik…..hembuskan…dengan pelan. Ku coba lagi membuka pintu perlahan-lahan, tapi yang kulihat tetap saja orang yang sama, Pak Doni.
Setelah mempersilahkan dia masuk dan berbicara sedikit banyak, akhirnya dia mengucapkan kata-kata yang tak bisa kutolak. Dia mengajakku untuk makan di luar. Oh Tuhan ku…apa yang terjadi. Guru ku sendiri menyukaiku. Ia mengatakan cinta dengan prilakunya kepada ku. Aku tak berkata apa-apa, tapi aku juga tak bisa menolaknya. Aku juga menyukainya.
Suatu hari kami melakukan kencan rahasia. Kencan yang hanya ada aku dan Pak Doni. Itu permintaan Pak Doni, karna ia akan segera pergi dari sekolahku. Ia akan pergi untuk tugas. Ada perasaan sedih di dalam hati ini. Aku merasa kehilangannya. Kenapa ia mengungkapkan perasaannya disaat ia akan pergi. Kenapa ?! kita saling menyukai, tapi kenapa harus berpisah? Ini tak bisa dihindari.
Kami bertemu untuk tidak dipersatukan.
Hik….hikkk…hikkkk


The End

Selasa, 07 Desember 2010

"Wait I Love it" (though I hope it is him)

Why can not I forget it,
Why she is always there my heart, mind, soul, and my body
I myself would not have known, that my love is not shortchanged.
God ....
This feeling has been for years. Please help ... find me a replacement himself. I can not wait for an uncertain love. Real love makes me miserable, although frankly I love her very much until this moment.

God ....... I love that comes wait for me.

Minggu, 05 Desember 2010

Tersentuh Bayangan

Saat embun mengantungkan dirinya di ujung dedaunanan, aku kembali masih disini.
Aku tetap duduk manis menunggu ada bayangan yang berjalan.
dan berharap embun itu akan jatuh ke bumi karna tersentuh.
Namun,.....tetap saja. Tetap saja....hingga embun itu tidak lagi menjadi air suci.

Aku tetap berharap mempunyai semangat yang baru untuk melihat embun di ujung dedaunan esok pagi. Tapi aku juga tidak tahu...berapa lama lagi aku akan tetap begini. Tak ada yang tahu.

Pada akhirnya.....aku melihat embun itu jatuh ke bumi karena tersentuh.
Tersentuh olehmu. "Tersentuh oleh bayangan"
Dan kini aku tahu, ini lah saatnya aku berhenti menunggu bayangan. Aku bahagia, meski sejujurnya aku berharap bayangan itu akan datang lebih awal, dan tak membuat aku menunggu.

Terima kasih kau telah menyentuh embun itu. Aku akan pergi membawa embun itu.
^_^

Rabu, 18 Agustus 2010

Ten Minute Mysteries

1
“Braak !” Suara tabrakan yang tak terhindarkan.
“Maaf nona, aku tidak sengaja,” Laki-laki itu menatap wajahku. “Biar aku Bantu.”
“Tidak apa-apa, biar aku sendiri yang membereskannya,” Kataku sambil membenarkan barng-barang belanjaku. Sesaat aku menatap pelipis itu. Bekas luka itu. Kataku dalam hati.
Aku mengenali bekas luka itu.
“Sudah ?”, kata lelaki itu membangunkan lamunanku. “Semuanya sudah dipastikan masuk kedalam keranjangnya ?”
“Oh …semuanya sudah masuk. Terima kasih.” Kataku sedikit gugup, sambil mengangkat keranjang yang ku pegang.
“Tidak, akulah yang seharusnya berterimakasih, dan maaf atas ketidak sengajaanku karena telah menabrakmu.” Sahut lelaki itu dengan senyum merasa bersalah, dan sesaat ia mengulurkan tangannya. “Aku Willy dan kau …..,”
Aku menoleh pada lelaki yang menyebutkan namanya itu.
“Bukankah ada yang ingin Anda cari di toko ini ?! Willy !.” Aku tak menyambut baik uluran tangan itu. Tapi aku pergi begitu saja. Tak ingin mengenalnya.
Aku pergi dengan cepatnya meninggalkan Willy dan toko perlengkapan itu. Tak perduli apa tanggapan orang itu.
Saat aku menuju mobilku.
“Ayo kerja yang benar !” Bentak salah satu laki-laki setengah baya itu kepada beberapa orang disebelahnya. Beberapa orang itu sedang melakukan sesuatu di bawah mobil.
Aku menoleh kearah dua orang yang ada di bawah mobil sedan yang tak jauh ada didepan ku.
Ku rasa mobilnya tidak rusak, jadi apa yang diperbaiki dibawah sana ?, jadi…..??! Ah sudahlah, mungkin mesinnya yang rusak. Pikirku.
Namun aku berdiri tidak terlalu lama, yeah…karena memang aku tidak ingin berlama-lama disini. Apalagi untuk bertemu kembali dengan lelaki yang bernama Willy. Sangat tidak ingin.
Aku segera masuk kedalam mobilku yang terparkir rapi. Sempat kulihat sebelum aku pergi, orang-orang yang berada di bawah mobil tadi kini telah menjauhi mobil itu. Oarang-orang itu menatapnya dengan senyuman yang puas. Amat puas. Seolah-olah mereka akan mendapatkan hasil yang bagus setelah ini.
Tatapan apa itu ?
Aku pergi meninggalkan tempat itu. Melaju dengan mobil yang kusetir. Tak lama beberapa saat aku berhenti tepat disebuah rumah yang jaraknya tak jauh dari jalan raya. Tidak ada taman atau yang lainnya yang menghiasi rumah itu. Selang beberapa menit, seorang wanita tua menghampiriku. Wajahnya tampak begitu lusuh dan begitu banyak goresan-goresan diwajahnya. Goresan keriput yang sudah tua.
“Terima kasih ya Ross, kamu mau membelikan ini untukku,” anita itu berkata kepadaku diselingi batuk yang menghiasi suaranya.
Aku tersenyum, “Ambilah. Aku yakin bibi membutuhkan alat ini.” Aku mengulurkan tanganku yang memegang semacam alat pemanggang . Wanita tua itupun segera mengambilnya dari tanganku. Senyuman termanisnya dihadiahkannya untukku, sebagai tanda ucapan terima kasih.______
Aku melesat pergi bersama mobilku. Menyusuri jalan yang miring.
Ada mobil yang mendahuluiku dengan laju.
Mobil siapa itu ?
Aku sedikit ngeri. Namun sudahlah ku rasa itu bukan urusanku. Mungkin aku akan berdoa untuk keselamatan pengemudinya.
Namun apa yang terjadi. Saat aku membelokkan setir mobil ke arah kompleks kediaman, tak jauh dari arahku, aku melihat semua orang mengerumuni sebuah mobil. Dan parahnya aku mengenali mobil itu. Ya ! Mobil itu yang mendahuluiku tadi.
Apa yang terjadi ?
Gigiku terkatup rapat, saat aku melihat apa yang telah terjadi di depan mataku. Mobil itu menabrak pohon dan …..entah apa yang terjadi pada pengemudinya.___________


“Hai Ross, kau sudah membaca Koran pagi ini ?” Ana sahabatku menyapa akrab. Dia baru saja datang.
Aku menoleh kearah Ana. “Belum,” Jawabku singkat.
“Aku heran, bisa-bisanya kau tidak tahu sama sekali masalah Koran pagi ini.” Kata Ana bersandar dikursinya.
“Yeah….dengan jujur,” jawabku
“Jadi kau benar-benar belum membacanya ?”
“Ada yang salah ?”
“Tidak. Tapi kau sedikit tertinggal,”
“Terus berita apa yang dimuat ?”
Ana menghela nafas panjang, “Well….kurasa kau harus tahu, tapi tenang saja aku akan segera menceritakannya.”
“Tentu. Bisa kau mulai sekarang,”
“Oh, baiklah,” Ana membetulkan posisi duduknya yang santai menjadi tegang. “Kemarin sekitar kompleks kediamanmu terjadi kecelakaan. Dan kau tahu siapa yang tewas dalam kecelakaan itu ?”
“Tidak,” Aku menggelengkan kepalaku dengan santainya.
“Bagus. Ini akan menjadi berita terbarumu. Dan kurasa kau akan sangat-sangat terkejut begitu mendengarnya.” Ana kembali terdiam setelah berbicara panjang lebar. Wajahnya menggambarkan keseriusan yang begitu mendalam. Sulit untuk ditebak apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Willy yang meninggal dalam kecelakaan itu. Karena mobil itu miliknya. Posisinya terjepit dan tidak dapat diselamatkan lagi.”
Seketika mendengar cerita Ana, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Aku lebih dari sekedar terkejut. Perasaanku menjadi galau. Apa benar maksud Ana Willy yang kemarin itu ? batinku mulai bertanya-tanya.
Aku kembali memutar waktu ingatanku. Dari awalnya aku tidak sengaja bertabrakan dengan Willy hingga akhirnya Willy menyebutkan namanya kepadaku.
Timbul satu pertanyaan di benakku. Apa benar mobil itu milik Willy yang bersamaku kemarin?
Siapa sebenarnya dia,?
Kenapa aku merasa ada sesuatu yang sedikit aneh._______

* * *

“Aku pulang ….!” kataku setelah aku tiba di depan pintu rumahku sendiri.
Sunyi.
Kemana mereka semua ? Kemana Ibu dan Ranggi. Ayah mungkin dengan setumpuk pekerjaan yang menunggunya.
“Bu….” Kataku, menyusuri dapur. “ Ibu……. ! ”
“Oh, kau sudah pulang ? Biasanya kau berteriak sebelum masuk. Dan hal itu kau lakukan tepat didepan pintu …..”
“Bu. Aku sudah melakukannya. Tapi tak seorangpun yang menjawab.” Aku memotong perkataan Ibuku.
Ibu memicingkan matanya tampak tak percaya, “Ah…mungkin juga kau benar. Mungkin Ibu yang sudah tua, dan hal itu berepengaruh terhadap pendengaran Ibu.”
Aku mengambil fanta orange kesukaanku. “Ibu belum terlalu tua. Ibu baru mempunyai dua anak. Aku dan Ranggi.”
“Ibu sudah dengar berita di Koran pagi ini, ?” Tanyaku sambil meneguk fanta orange-ku.
“Ya Ibu tadi pagi membeli korannya. Kau juga tahu mengenai anak itu. ? Ibu balik bertanya.
Aku bersandar di kursi meja makan. “Ya. Aku mendengarnya dari Ana. Dimana koran itu,?”
Ibu mengacungkan salah satu jari tangannya kearah belakangku. “Ibu menyimpannya diatas lemari pendingin itu. !”
“Aku memutar tubuhku. Tepat dibelakangku lemari pendingin berdiri tegak. Segera kuambil Koran itu dan aku membawanya ke kamarku. Di lantai dua.
Setelah ku buka pintu kamar, tempat tidur yang tidak terlalu besar. Cukup untukku dan beberapa bantal yang tertata rapi diatasnya.
Aku merebahkan tubuhku. Rasa lelah yang sangat berarti dihariku sangat aku rasakan. Bukan karena aktivitas-aktivitas yang padat. Kurasa banyak masalah demi masalah dan keanehan yang ganjil yang membuatku merasa lebih lelah. Itu mungkin….. Tapi entahlah ….
Sesaat aku sadar, bahwa aku membawa berita tentang anak pengusaha terkenal. Willy !
Hal pertama yang aku lakukan adalah mengarahkan kedua mataku kearah sebuah foto yang tidak terlalu jelas kondisinya, karena mungkin saja foto tersebut diambil sewaktu kejadian, dan benar kata Ana, posisinya terlihat terjepit.
Tapi pandanganku lebih mengarah pada hal disampingnya.
Yeah…berita kecelakaan yang dialami Wlly memenuhi sisi kiri halaman pertama. Aku membaca Koran yang ditulis oleh wartawan asal negara Swis itu. Azhslee liz, dengan sangat teliti. Semuanya sangat aku cermati. Hingga pada akhirnya aku membuat satu kesimpulan. “Ternyata dia memang benar-benar Wlly yang ku temui di toko perlengkapan itu.”
Tapi siap orang-orang yang ku lihat dibawah mobilnya Wlliy. Apakah orang-orang itu hanya menolongnya atau……ah tidak. Tidak mungkin, jangan-jangan….”
Pikiranku terputus. Ranggi adikku memanggil menyebutkan namaku. Kurasa untuk makan siang bersama.
“ Iya sebentar, aku akan segera turun !! ” Aku meletakkan Koran itu diatas tempat tidurku. Masih terus kupandangi foto Willy yang menakutkan hingga foto itu tampak samar-samar menajauh dari pandanganku.


2
Dua hari kemudian. Selasa.
Hari-hari berjalan normal, seperti biasanya. Kabar gonjang-ganjing tentang kematian Wlly pun sudah tidak terlalu diperbincangkan.
Dan hari itu aku baru melangkah santai. Tapi,
Seseorang memanggilku.
Siapa ? Dia menghentikan langkahnya tepat dibelakangku.
“Hai honey,” sapanya mesra.
Aku membalikkan tubuhku.
Dia mengecup keningku.
Dia Martin. Pacarku.
“Hai,” Balasku sambil memberikan keningku. Dan itu sudah cukup sering kami lakuakan.
“Kau kemana saja, aku tidak bisa menghubungimu. Ponsel-mu juga tak bernyawa kurasa.”
Ponsel ? Pikirku.
Aku baru ingat kalau ponselku hilang semenjak bertemu Willy di toko perlengkapan itu. Dan saat itulah aku tidak bersamanya lagi. Kenapa aku begitu ceroboh.
Tiba-tiba saja aku merasa sangat bodoh. Entah dimana sekarang benda itu.
Martin mengayunkan jari-jari tangannya yang terbuka di depan wajahku. “Apa yang kau pikirkan ? Apakah aku yang kau pikirkan. Kau sungguh menyenangkan.” Martin melebarkan senyumnya. Sungguh manis tapi, munafik.
Aku berhenti dari lamunanku. “ Maaf Martin. Dan aku sepertinya sedikit tidak sehat,”
Martin tertegun beberapa saat. Lagi-lagi ia menghela napas panjang seperti melepas beban berat yang menindih dadanya.
Aku melihat raut wajah itu. Kekecewaan yang kutangkap.
“Maaf Martin aku tidak bisa menemanimu malam ini. Ku rasa kau tahu alasannya.”
“Tentu saja aku tahu, karena ku pikir kau memang selalu begitu.”
“Kau marah ?” tanyaku.
“Habis kau membosankan !” Martin akhirnya menumpahkan kekesalannya.
Aku sungguh kecewa terhadapnya.
“Bukan aku yang membosankan,” Aku mentapnya dengan penuh kekecewaan untuk saat itu. “Tapi kau yang banyak permintaan.!”
Kemudian aku pergi meninggalkannya. Sendirian.
Diperempatan belokan kampus Ana telah menungguku. Kurasa ia tahu apa yang terjadi baru saja.
Aku mendekatinya. “Berapa lama kau berdiri di tempat ini ?”
“Uh…..” Ana menghela napas panjang. “Cukup lama, dan cukup jelas melihat pertunjukanmu barusan.”
“Sudahlah lupakan, itu tidak terlalu penting,” kataku sambil berlalu.
“Kau mau kemana ? bukannya kau ada kelas lima belas menit lagi.”
Aku memutar tubuhku. “Tanpa dirimu aku tidak akan masuk kelas itu, dia pelajaran yang sungguh menyebalkan. Apa kau mau ikut. ?”
“Kemana?”
“Kemana saja, yang penting tidak disini…”
Sepanjang perjalanan Ana selalu memperhatikanku. “Ana apa yang ingin kau katakan, katakan saja jangan memperhatikan aku seperti itu.”
“Aku tak pernah mengerti bagaimana hubunganmu dengan Martin, sepertinya kalian berdua tidak pernah akur. Kalau boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan Ana. “Kau tahu Martin. Dia begitu banyak permintaan,” aku tak melanjutkan kata-kataku.
“Dan kau selalu menurutinya dan bertahan.”
“Entahlah, sulit bagiku untuk menggambarkan perasaanku sendiri untuknya. Dan kurasa kita tidak perlu membahasnya.”
“Sepertinya memang begitu,”

3
Dari balik jendela, aku manatap taman samping. Disebelahku ada jus orange kesukaanku.
Aku meraih jus itu, sambil menyandarkan kedua tangan di jendela. Sambil menatap indahnya langit sore. Sesekali tatapanku tertuju kepada Ranggi yang melompat-lompat diatas sofa.
Tak lama. Suara bel dari arah pintu depan. “Ting…..Tong….”. Tampaknya seseorang telah memencetnya. Aku hanya terdiam memandangi pintu itu.
“Biar aku yang buka….!!!” Teriak Ranggi. Kemudian adikku yang lincah itu membukanya. Melompat lagi dari atas sofa.
Ketika pintu telah dibuka. Tak seorangpun terlihat disana. Kami semua terdiam. Ranggi memutar-mutarkan kepalanya kearah kanan, kiri, dan ke depan. Tetap tidak ada siapa-siapa. Kembali ia memutarkan tubuh dan kepalanya kearah belakang. “Kurasa hanya orang iseng,”
Aku, Ayah dan juga Ibu melihat kearah pintu dan….”Awas Ranggi dibelakangmu……!!!” Kami berteriak kepada Ranggi. Ranggi sangat ketakuatan sebelum ia melihat siapa yang berada dibelakangnya. Ia memutar tubuhnya.
“Whoa……!!!” Ranggi berteriak ketakutan.
“Hai Ranggi kenapa kau berteriak melihatku,?” Ana menyapa Ranggi yang terdiam, setengah membuka daun pintu.
“Masuklah. Kau membuatku takut.” Ranggi menatap kami. Wajahnya sangat marah. Namun kembali ia kepada Ana. “Bagaimana penampilanku ?” Tanya Ranggi sedikit bergaya memutar-mutar tubuhnya seperti berada di sebuah panggung hiburan.
“Eh… em….” Ana menempelkan jari-jari ke dagunya. “Kau terlihat unik dan …..kau memakainya…?! Hebat !!” Ana takjub melihat baju yang dikenakan Ranggi.
Aku melihat pertunjukan yang menjengkelkan itu. Adikku bergaya seperti actor terkenal. Dia sungguh menyebalkan,
“Kau begitu beruntung mendapatkannya,”
“Tentu. Ini karena dia sedikit berbaik hati kepadaku,”
“Dia? Dia siapa maksudmu ?”
Ranggi menoleh kearahku.
“Yang benar saja, kau membelikan ini untuk adikmu.”
Aku meletakkan minumanku. “ Itu terpaksa,”
“Terpaksa kalah kan. We…we….”
Ranggi berlari sambil menjulurkan lidahnya yang berwarana orange kearahku. Itu karena dia mencoba mengambil minumanku. Aku mengerjanya melompati kursi dan meja…. “ Itu karena kau bermain curang bocah !!” teriakku sambil berlari. Dan…Brak….
“Auw…..,” Aku meringis kesakitan. Kakiku tersandung meja. Ranggi hanya tersenyum puas melihat penderitaanku.
“Ranggi sudah…, kasihan kakakmu. Kita harus segera pergi. Cepat bereskan barang-barangmu.”
“Pergi !? kemana ?” tanya Ana
“Untuk suatu bisnis kecil” Kata Ayah.
“Jadi aku datang untuk melihat kepergian kalian ?”
“Tidak, kau akan bersama Rossa. Dia tidak ikut kami.” Kata Ibu .
Ana mentapku. “Kenapa ?”
“Aku ingin mengahabiskan waktu dirumah.” Kemudian aku melihat kearah Ranggi . “Dan….kurasa tanpa bocah itu aku akan sedikit lebih nyaman.”
“Walau harus sendiri ?”
“Ada kau yang menemani.”
Ranggi menerobos melewati aku dan Ana. Sempat ia menginjak kakiku. Setelah jauh dariku ia kembali menjulurkan lidah orange-nya. “Jangan kau temani dia, kau akan merasa ketakutan bersamanya. Dia akan berubah menjadi monster yang jahat.”
“Kita harus berangkat,” Kata Ibu melihat jamnya. Ia menyeret koper dengan rodanya. “Kami akan menelponmu” Katanya kepadaku.
“Hei jangan tinggalkan aku, !” Seru Ranggi. Beberapa menit kemudian setelah puas berpelukan akhirnya keluargaku lenyap ditelan ujung jalan. Aku menutup pintu.
Aku menjatuhkan tubuhku diatas sofa, Ana menyusul. “ Puih…akhirnya aku terbebas dari monster kecil itu. ” Ungkapku puas. “Ya dialah monster kecil dirumah ini. Sungguh menyenangkan,”
“Kau dan Ranggi seperti bukan adik-kakak. Kau menganggapnya seorang monster kecil, tapi mernurutku dia bocah kecil yang lucu.”
“What !!??, BOCAH KECIL YANG LUCU ?!,” Kataku tidak percaya. “Apa aku tidak salah mendengar pujian itu. Ataukah itu bukan sebuah pujian, melainkan sindiran yang sadis…”
“Ya. Itu pendapat terakhir yang ku simpulkan dari tingkahnya. Kau saja yang tidak bisa melihat sisi baik dari adikmu.”
“Ku harap dia memang bocah yang lucu, tapi sayangnya tidak.” ____

Dentang jam sudah semakin jauh. Malam semakin larut. Gelap menyelimuti malam, dan malam mulai memanggil rasa kantukku.
Ana berdiri dari duduknya. “Aku pulang, Ross,”
“Ya terima kasih telah menemaniku.” Kataku sambil menguap kantuk.
Ana pun pergi meninggalkan rumahku. Kini aku tinggal sendiri. Tak apa, ini rumahku. Tak akan ada yang berani berbuat macam-macam terhadapku.
Aku menutup pintu rumahku, berjalan menuju kamar. Saat aku berjalan menyusuri tangga. Langkahku terhenti. Ku dengar suara bel pintu berbunyi.
“Ting...Tong…”
Siapa yang datang malam-malam begini ? Gerutuku dalam hati
Aku melangkah malas, sambil berjalan aku terpikir Ana yang mungkin melupakan sesuatu. Akhirnya ku buka pintu itu.
“Ana kau meluapakan sesua…..tu…?” Tidak ada siapa-siapa. “Ah mungkin aku yang terlalu mengantuk hingga berhalusinasi. Sebaiknya aku segera pergi tidur.” Aku kembali menutup pintu dengan rapat. Namun, kembali terdengar suara bel pintu.
Aku membuka pintu itu kembali. Kali ini aku melangkah dengan cepat. “Ana ….kau melupakan sesuatu….kau dimana ? Atau bukan Ana. Katakanlah siapapun kau apa kau membutuhkan bantuanku.”
Sunyi,
Tetap tak ada jawaban. Aku mulai panik. Ku layangkan pandanganku disekitar halaman depan, namun tetap tidak ada siapa-siapa .
Aku membuat corong dengan kedua tanganku dan memanggil lagi. “Ana…atau siapapun ? ku mohon sekarang bukan waktunya untuk bermain-main.”
Tetap tak ada jawaban.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menutup pintu dengan rapat dan menguncinya.
Aku takut.
Aku berlari menuju kamarku. Saat aku menaiki anak tangga yang pertama, aku mendengar suara lagi yang membuat bulu kudukku berdiri tegak. Seolah ada yang sengaja meniupkan angin dingin di belakang leherku.
Suara yang kudengar seperti kecipak air. “seeeer…..seeeerr….”
Aku terus melangkah perlahan-lahan menuju suara air yang berkecipak itu. Air itu berasal dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat. Tanganku bergetar memegang gagang pintu itu.
“Tak ada orang lain disini. Hanya aku sendiri tapi mengapa air itu…..” Kataku dalam hati. “Lantas siapa ?”
Persaanku semakin diselimutu rasa takut. Saat aku mencoba membuka pintu itu.
“Kreek,” pintu itu terbuka dengan mudahnya.
Aku terkejut. Jantungku seperti ingin lepas dari organ tubuhku. Disaat apa yang kulihat dalam kamar mandi. ….
Ternyata tidak terjadi apa-apa, hanya air saja yang terus berkecipak membanjiri lantai. Aku meletakkan tanganku didada. Namun sesaat terdengar suara yang sama dibalik tirai bak mandi.
Aku membuka tirai itu.
“ Sreek….., ”
Tetap tak ada apa-apa dan tak ada siapapun disana.
“ Hal yang sama ” gerutuku merasa sedikit kesal namun membuatku sedikit lega.
Aku duduk ditepian bak mandi, menyandarkan tubuhku di dinding. Sesaat aku tersadar air yang sudah luber kemana-mana sudah menyentuh mata kakiku. Aku beranjak dari sandaranku. Kucoba membasuh mukaku agar sedikit lebih segar. Dan mencoba meyakinkan diri, bahwa semua ini hanyalah halusinasi.
Satu kali basahan, dua kali basahan, kurasa cukup. Aku menatap wajahku pada cermin yang ada dihadapanku.
Ada yang aneh, aku mencium bau anyir dan-dan… wajahku berubah warna. “Ha !!!” aku takut menatap wajahku sendiri. Wajahku dilumuri DARAH. Tidaaaakkk…….!!!!!
Apa yang terjadi…..??!!
Aku termundur beberapa langkah kebelakang.
Di cermin itu. Cermin itu bertuliskan darah yang masih segar.
TOLONG AKU ROSSA !!!!
Batinku terpekik tak tertahankan.
Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku berlari sekuat tenagaku menuju kamarku. Siapa yang telah menerorku? Apa maunya orang itu?
Menutup pintu serapat mungkin dan menguncinya. Melakukan gerakan yang sering dilakukan Ranggi. Melompat keatas tempat tidur. Menarik selimut tebal. Kuraih beberapa tisu untuk membersihkan wajaku yang berlumuran darah. Kemudian aku menyelimuti seluruh tubuhku.
Sesekali aku menatap pintu kamarku. Menunggu gagang pintu itu bergerak. Rasa takut yang sangat besar sedang merajalela di dalam diriku. Aku tak bisa mengendalikannya.
Selang setengah jam, semua tampak normal. Sunyi. Seperti tak pernah rejadi apa-apa sebelumnya. Perlahan aku membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku.
“Berakhirkah sudah ?” Batin ketakutanku bertanya. Aku mendesah, mengeluh karena tak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku sendiri.
Setelah kejadian itu aku tidak bisa tidur. Sulit untuk memejamkan kedua mata ini. Tapi akhirnya lambat laun aku tertidur juga dan terbangun keesokan harinya.


4
“ Kring…..Kring…. ”
“ Kring……Kring… ”
“Tek !” Aku mematikan jam weker yang membangunkanku.
Ku coba duduk tegak, dengan mengusap-ngusap kedua bola mataku yang tertuju menatap pintu kamar.
Apa yang terjadi semalam denganku? Gumamku.
Aku menurunkan kakiku dari tempat tidur. Melangkah menuju jendela dan membuka tirai hijau yang menutupnya. “ Hari yang cerah ! ”. Sinar matahari masuk melalui kaca bening, membuat garis-garis di lantai. Aku merasa sedikit lebih baik.
Aku keluar dari kamarku. Melangkah menyusuri anak tangga satu persatu. Melangkah menuju kamar mandi. Ku coba untuk memegang gagang pintu itu, namun ……..
“Ting…. Tong….”
Aku terperanjat kaget. Jantungku berdebar cepat. Refleks aku cepat membuka gagang pintu itu. Turun menuju lantai bawah. Bel pintu terus saja berbunyi. “Ting….tong…” Semakin aku mendekati pintu, semakin jantungku berdetak lebih cepat lagi. Saat kubuka pintu itu.
“Aduh…kau lama sekali membuka pintunya.” Ana menggerutu kepadaku. Ternyata dia yang datang. Aku menghembuskan nafas aman. “Kau kenapa ?”
“Tidak. Masuklah, kau sendiri saja? ” aku melihat-lihat kearah belakang Ana. Ternyata sendiri. Aku mengajaknya keruang tamu.
“Duduklah. Kau mau minum apa? Sprite ?” tanyaku sambil membereskan majalah-majalah yang ada di atas meja.
“Boleh”
“Tunggu, akan aku ambilkan” Aku menuju lemari pendingin yang ada di sudut dapur.
Ana duduk di sofa ruang tamu. Ia menatap bingkai foto yang baru beberapa minggu ini aku letakkan di meja hias. Foto itu terlihat sangat lucu. Ana tersenyum tipis melihatnya.
“Terlihat lucu ya foto itu ?” Tanyaku.
Sesaat senyum Ana menghilang. Ia menoleh kepadaku. “Ini foto kecilmu? yang disampingmu ini siapa?” Ana menunjuk foto anak kecil yang bersamaku.
“Dia sahabat kecilku yang sangat berarti.”
“Ehmmmm……., dapat ku baca, karena sepertinya kau sangat merawat foto ini. Kemana dia sekarang,? tentunya dia seusiamu. ”
“Kau benar, dia memang seusiaku sekarang. Tapi, dia dan aku berpisah sewaktu usiaku mulai remaja. Dan aku tidak tahu dimana dia sekarang.” Kataku kemudian. Mataku terus tertuju pada foto itu.
“Oh ya, kenapa ponselmu tidak bisa ku hubungi?”
“Ponselku hilang, ini yang baru,” kataku sambil menunjukkan ponsel yang baru. “Dan aku baru saja ingat kemarin,”
“Bagaimana bisa? sejak kapan?”
“Bisa saja, sejak aku bertemu Willy. Semenjak itulah aku tidak bersamanya. ”
“Tunggu! Willy ? Willy maksudmu yang…...”
“Ya. Willy yang meninggal karena kecelakaan itu. Aku bertemu dengannya ditoko perlengkapan sepuluh menit sebelum kecelakaan itu terjadi.”
“Kau benar-benar bertemu dengannya? Apa yang kau lakuakan disana?” Tanya Ana terlihat tolol.
“Tentu saja. Di toko perlengkapan itu aku membeli sesuatu karena pesan Ibu. Kau pikir aku menumpang buang air.”
“E…anu, tidak. Maksudku setelah bertemu dengannya apa yang kau lakukan. Apa tidak ada semacam perkenalan?” Ana terlihat penasaran.
“Tidak. Maksudku mungkin, dia sempat mengulurkan tangannya. Willy ! katanya. Tapi aku pergi begitu saja.” Kataku sambil memperagakan gerakan Wiily.
“ Kenapa? Dia anak orang kaya dan terkenal.”
“Adakah waktu menikmati kekayaannya dalam waktu sepuluh menit.?” aku bertanya dengan senyum mengejek.
Ana mengangguk-anggukan kepalanya. “Betul juga, sayang sekali”
“Ya, nasibnya malang.”
“Sudahlah .., ada baiknya juga kau tidak menjabat tangannya,” Ana kemudian beranjak dari duduknya.
“Kau mau kemana?”
“Ke kamar mandi. Kamar mandimu sebelah sana kan?” Ana menunjuk kesisi sebelah kanan dapur.
“Ya…. Tapi….”
Ana menoleh kearahku. “Tapi apa?”
“E…tidak, pergilah!”
Aku duduk menyandarkan tubuhku di tepian sofa. Langkah kaki itu semakin mendekati kamar mandi. Aku cemas, aku takut. Dan…
“Pagk ” kini bahu Ana ada yang menepuknya dari belakang.
Siapa?
Ana menoleh kebelakang. “Kenapa Ross ?”
Aku tak menjawab langsung pertanyaannya. Perasaanku berdebar-debar. Perasaan takut yang sama kini ada dalam diriku. Wajahku berubah menjadi tegang. Ana melihat perubahan pada diriku. Wajahnya jadi ikut tegang dan bingung. Aku melihat pintu itu.
“Rossa kau kenapa, apa yang kau lihat?” Tanya Ana kepadaku saat itu yang tak mengerti sama-sekali apa yang aku fikirkan. “Jangan ikuti aku !” Pintanya,
Ana masuk kedalam kamar mandi. Ia menutup pintu itu.
Sunyi. Tak ada suara dari dalam sana.
Aku benar-benar cemas. Apa yang terjadi dengan Ana didalam sana. Menempelkan daun telingaku pada pintu. Aku terus menunggu. Terus menunggu sampai Ana keluar dari kamar mandi terkutuk itu.
“Kreek…” Suara pintu terbuka. Aku segera memperhatikan dan menunggu Ana keluar dari pintu itu. Ana tak kunjung keluar. Aku semakin cemas.
“Aaaah….”
“Ana kau kenapa? kau baik-baik saja,” Aku menggoncang-goncang bahu Ana.
Ana semakin bingung. “Ada apa Rossa?, aku baik-baik saja. Kamar mandimu sangat nyaman.”
Mataku melotot mendengar kata-kata Ana. “Nyaman katamu? Kau tidak mencium bau anyir?,”
“Bau anyir, maksudmu?”
“Ya. Semacam darah ! kau menciumnya?. Dan apakah lantai atau kerannya semuanya darah?”
Ana memicingkan matanya kepadaku. “Apa yang terjadi denganmu Rossa, semuanya normal. Tidak ada yang berbau anyir atau lantai dan keran berwarna darah. Itu semua tidak ada !”
Aku tertunduk kesal pada diriku sendiri. Akupun tak mengerti apa yang terjadi pada diriku sendiri. “Entahlah…..tapi semalam aku benar-benar melihat semua itu. Aku tidak berbohong. Kau percaya padaku kan,?”
“Apa malam ini aku perlu menemanimu? Setidaknya aku ingin memastikan apa yang kau lihat, bagaimana?” Ana menawarkan bantuannya kepadaku.
Aku mengangguk. “Baiklah,”

* * * *

“Kau lihat apa ?” Tanyaku kepada Ana yang berada ditepian jendela kamarku.
“Coba kau lihat itu,!” Ana menunjuk kearah matahari yang semakin condong kebawah, namun sinarnya tetap redup bahkan mulai berkurang.
“Ya aku melihatnya, dan itu tandanya malam akan segera datang dan….”
“Dan tidak hanya itu,” Ana memotong kata-kataku namun tidak melanjutkan kata-katanya. Ia diam sejenak. “Kau tahu artinya malam, apakah mungkin malam ini akan seperti kejadian semalam yang kau alami?”
Aku diam untuk berfikir keras. Lalu kataku, “Mungkin saja, tapi jika malam ini akan terjadi hal yang sama, kupastikan kau akan merasakannya juga.”


5
Malam telah benar-benar tiba. Dan memanggil rasa kantukku dan Ana. Ana malam ini tidur bersamaku. Ia menemaniku. Jam wekerku menunjukan jam 09.00 malam.
“Kau belum tidur Ross,?” Ana disampingku bertanya.. Matanya tetap tertuju kearah langit-langit kamar.
“Sulit Ana, aku takut. Kejadian semalam benar-benar membuatku takut. Sulit untuk dibayangkan kembali,”
Ana merubah posisinya, membalikkan badan membelakangiku.
“Sudahlah…jangan kau bayangkan terus. Tidurlah sebelum hal yang sama terjadi.”
Aku menatapnya sebentar “Mudah kau berbicara” kataku dalam hati. Kemudian aku mencoba memejamkan mataku. Mencoba tidur seperti Ana yang sudah tertidur. _______

Aku mendengar deringan telpon. Tidak begitu jelas, tapi kupikir mungkin Ayah yang menelpon. Aku turun dari tempat tidurku dengan perlahan-lahan, karena aku tidak mau membangunkan Ana. Kemudian membuka pintu juga dengan sangat pelan.
Aku menuruni tangga. Hingga tiba di meja telpon. Kuangkat telpon itu.
“Halo?”
“Halo” suara anak laki-laki. Dan kurasa aku mengenali suara itu. Ya dia pasti Ranggi.
“Ranggi?! bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu. !”
“Tunggu ! Tunggu sepuluh menit lagi,” Suara dingin anak itu.
“Hah,” Aku mengerutkan kening. “Ranggi ? kau kah itu ? Apa maksudmu?”
“Kau harus menyambut kedatangannya sepuluh menit lagi. Harus ! SEPULUH MENIT lagi.”
Klik !
“Halo? Halo?”
Tidak ada jawaban.
Tidak ada.
Aku berdiri terpaku dalam lamunanku, masih memegang gagang telpon. Tubuhku merinding.
Siapa yang menelpon tadi?
Apa maksudnya, mengatakan bahwa sepuluh menit lagi akan ada yang datang?
Apa yang akan dilakukannya padaku?
Aku terpaku untuk sembilan menit lamanya. Ku tunggu, tak ada suara apapun yang memencet bel pintu rumahku atau deringan telpon lagi.
Saat sembilan menit lima puluh lima detik, masih belum ada sesuatu atau pertanda bahwa ada yang akan datang. Suara bel pintupun tak kunjung berbunyi.
“Aneh,” Kataku, baru kemudian aku melangkah. Hanya satu langkah.
“Brak !!!”
Suara daun pintu yang menghantam tembok. Rasa terkejut yang amat sangat membuat jantungku berdebar kencang. Aku memutar tubuhku.
Asap putih bergumul diantara pintu. Aku memandang penuh kengerian kearah pintu yang tebuka lebar.
“Kau harus menyambut kedatangannya sepuluh menit lagi,”
Kata-kata di telpon itu terngiang-ngiang ditelingaku. Kini gumpalan asap putih itu berbau anyir. Memasuki hidung dan paru-paruku. Aku tidak tengah bermimpi. Aku sungguh melihat sosok itu yang tiba-tiba muncul dihadapanku, ditengah-tengah pintu rumahku. Pintu yang seolah-oleh menyambut kedatangannya.
Aku mencoba menegaskan pandanganku.
Dan benar!
Sosok itu adalah sosok seorang laki-laki.
Aku tidak bisa mencegah! Rasa takut mulai mencekik di leherku.
Tiba-tiba perutku terasa mual._______
Wajah itu!
Wajah itu membuatku merasa mual. Wajah laki-laki itu hancur,!!!
Di beberapa bagian wajahnya terdapat beberapa sobekan luka yang menganga. Tergenang darah beku di dalam sobekan luka itu.
Dan mata itu. Aku tak sanggup melihatnya. Mata itu tunggal!
Ini benar-benar terjadi dalam hidupku. Terjadi saat aku tidak bersama keluargaku. “Ooohh…….”
Mulutku ternganga. Aku menatapnya. Aku mendengar desahan. Desahan suara nafasnya.
“A-apa yang kau inginkan, ?” Tanyaku.
“Akhirnya kita bertemu Rossa,” Bisiknya perlahan-lahan.
Ku dengar sesuatu.
Ya ! Dia menyebutkan namaku ! Dia mengenalku.
Lelaki itu terus melangkah kearahku, mendekatiku. Dia melotot kepadaku dengan mata yang tersisa bulat dan hitam.
“Rossa….Rossa ..” Desisnya pelan,
“Kemarilah Rossa ….! Tolong aku..”
Suara itu berbisik menyeramkan. Dan tangannya mencoba menggapaiku.
Menggapaiku,
Tangan yang diselubungi darah segar. Jari-jari yang kurus yang mencoba menggapai-gapai. “Rossa….Rossa…” Ia mendekatiku dan terus menyebutkan namaku. Langkah kakinya tergopoh-gopoh. Kaki kirinya tak mampu berjalan. Kaki itu terseret, bertumpu pada kaki kanannya.
“Tidaaak……!!” Pekikku
Tubuhku menegang. Aku terus mundur beberapa langkah, hingga akhirnya aku merasakan tak ada lagi jalan untukku terus mundur. Aku terhalang tembok, disudut ruangan. Oh…apa yang harus aku lakukan.
Aku mencoba mencari sesuatu. Merayap-rayapkan tanganku menyelusuri dinding.
“Apa yang akan kau lakukan Rossa?”
Lelaki itu bertanya kepadaku. Dia mengetahui apa yang hendak aku lakukan kepadanya. Pertanyaan itu bergelembung tak jelas dari mulutnya.
Aku gugup.! apa yang harus kujawab?!
Aku mendengar dan menatap langkah kaki itu. Lagi-lagi langkah kaki yang terseret tak berdaya, sedang melangkah terus mendekatiku. Apa yang harus aku lakukan !?!
“A-apa maumu ?!! jangan mendekat! Kumohon,” Pintaku.
“Siapa kau ? Siapa kau sebenarnya,?!” Suaraku terasa sakit dan sesak yang sangat didada. Aku tak mampu menahan air mta ketakutanku.
Ah..! langkah itu terhenti. Aku menatapnya penuh kecemasan. Wajah lelaki itu merah padam.
Apa yang telah kulakuakn? aku telah membuatnya marah. “Bagaimana ini ?” Keluh batinku.
Sekarang apa lagi?
Seberkas sinar putih jatuh diatas wajah laki-laki itu. Aku menatpnya dan menyaksikan semua itu dengan bermacam pertanyaan-pertanyaan aneh. Dan mungkin tak akan ada yang mempercayai dengan apa yang aku lihat ini.
Ka-karna wajah itu kini berubah menjadi wajah yang kukenal. Tak lagi penuh dengan luka-luka sobekan yang menganga.
“Willy !” Akhirnya aku mengenal wajah itu.
“Ini aku ! Ini AKU !” Jerit Willy kepadaku. “Aku sahabatmu !”
Aku terkesiap. Willy berusaha meraihku, sementara aku berusaha terus menghindar dan tak mengerti apa yang dikatakannya. Wajahku dipenuhi rasa ketakutaan. “Sahabat? A-aku tidak mengerti sa-sahabat apa ?” Aku mencoba memperbaiki setiap perkataanku.
“Rossa ….” Panggilnya parau.
Aku membeku “Hah?” Tangannya menyentuh tanganku, lengket dan basah, dan sangat dingin, dingin seperti mayat.
“Kemarilah,” katanya, seperti gumaman.
“Ti-ti-tidaaak……..!” Aku menahan nafas mundur.
“Tak ingatkah kau kepadaku Rossa ?” Willy terus memegang tanganku dengan kerasnya, dan mencoba menyampaikan sesuatu yang tak ku mengerti.
“Ingat apa?”. Aku terdiam. Mencoba berfikir sejenak, dan mungkin maksudnya pertemuan beberapa menit sebelum ia meninggal. “Ya, aku mengingatmu. Kita bertemu beberapa waktu lalu. Di toko perlengkapan itu, ya ditoko perlengkapan itu.” Kataku setengah ketakutan meyakinkan ingatanku.
“Dan, dan kau telah meninggal. Tidak mungkin !!!”
Willy mengangkat kepalanya. Menatap wajahku. Tatapan matanya begitu membuatku ketakutan. Wajahnya merah padam. Kemudian terdengar suara yang sangat membuatku merasa bingung. “Kau telah melupakan aku Rossa,?!” Willy terus berkata bahwa aku telah melupakannya. Aku begitu tidak mengerti apa maksudnya.
“A-apa maksudmu,? Aku mengingatmu karena pertemuan kita dahulu. Hanya itu yang bisa ku ingat karena hanya di Toko perlengkapan itulah kita bertemu, dan itu pertama kali kita bertemu. Setelah itu kita tidak pernah bertemu lagi, karena kau telah tewas dalam kecelakaan itu. Tolong jangan ganggu aku, aku mohon.”
Aku berbicara sempurna. Willy terdiam, mungkin ia sejenak befikir. Dalam waktu berfikirnya aku tak akan menyia-nyiakan waktu, aku mencoba melepaskan diri. Dan…..
Yes,!! aku berhasil !!
Aku berhasil melepaskan diri dari gemgamannya. Berlari menuju kamarku. Mencoba menaiki anak tangga satu demi satu. Aku tidak berani melihat kebelakang karena aku yakin Willy tidak akan tinggal diam untuk tidak mengejarku.
Tapi………“Duk!”
“Sial !” Aku tersandung diantara anak tangga. Perasaanku berkecamuk, terus berusaha mengangkat kaki yang tersandung. Tapi, tangan dingin telah menyentuh kaki itu.
“Jangan pergi Rossa,” Willy berhasil menangkap kaki kananku. Kembali ia mencengkram bahuku. “Kau harus menolongku. Martin penyebabnya. Kau harus mengungkapnya. Mengungkapnya.”
Kegelapanpun mulai mengurungku. Aku membuka mulutku dan menjerit ketakutan.
“TIDAAAK !”

* * *

Seseorang meremas bahuku, meremasnya sangat kuat hingga terasa nyeri. Mengguncangku. Mengguncangku.
Perlahan aku membuka mataku. Berusaha melihat, “Ana ?”
“Aku mengguncang-guncangmu. Kau tidak mau membuka matamu. Aku sangat ketakutan.”
Kemudian Ana membantuku pindah ke sofa dari lantai yang kubaringi.
“Aku sangat khawatir,” katanya, ngeri. “Awalnya aku kira kau menghindar untuk tidur denganku, lalu kemudian kau tertidur disini, tapi setelah ku diagnosa. Kau benar-benar tidak sadarkan diri atau sesuatu yang seperti itulah. “
Aku menatap wajah Ana, “Ada banyak kamar untuk menghindarimu.”
“Ya, ku pikir memang begitu. Tapi kenapa kau ada disini, dan kau bukan tertidur tapi kau tidak sadarkan diri.” Kemudian ia berdiri, “Kau tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan segelas air untukmu,”
Aku terpikir dengan ucapan Ana, mengapa aku tidak sadarkan diri disini, bukan tidur bersamanya.
“Kau baik-baik saja,?” Ana menghentikan lamunanku. Terlihat dari tatapan matanya ia sedang menelihat keadaanku. Aku melihat segelas air ditangannya dan aku mengambil air itu. “Minumlah, kau akan sedikit membaik,”
“Ya,” Jawabku singkat tanpa reaksi.
“Kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi ?”
Ku dengar Ana mengulang pertayaan yang sama.
“Aku baik-baik saja“ Bisikku. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang kuingat aku hanya…….”
“Hanya apa ?”
Aku menatap wajah Ana begitu dalam. “Hanya seingatku….aku menerima telpon dari seorang anak kecil yang kupikir itu Ranggi. Tapi ……” Aku terdiam untuk beberpa saat, “Tapi, ternyata dia bukan adikku. Anak kecil itu berbicara seolah-olah mengingatkanku.”
Ana mengernyitkan keningnya, membuat beberapa garis dikening itu. “Mengingatkanmu? Mengingatkan apa?”
Aku mengingat apa yang dikatakan oleh anak kecil di telpon itu. “Dia bilang kalau aku harus menyambut kedatangannya, sepuluh menit lagi,”
“Lalu kau mengerti apa maksudnya ?”
Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak,”
“Ini aneh, kau tidak tahu siapa yang menelpon dan kau tak sadarkan diri setelah mengangkat telpon itu,” kata Ana yang tetap saja membuat garis-garis di keningnya.
“Ku rasa aku tak secepat itu tak sadarkan diri, aku merasa…..”
“Maksudmu setelah kau mengangkat telpon itu kau merasa ada hal lain yang terjadi.” Ana memotong perktaanku.
“Kau benar. Oh ……. Tidak !” Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang begitu menyeramkan. Hal yang membuat bulu-bulu kecil dibelakang leherku berdiri tegak. Seoalah-olah ada yang sengaja meniupnya lagi.
Ana memicingkan matanya, “Kau kenapa? Apa yang kau ingat. Katakanlah,”
“Aku-aku…, melihat Willy. Dia-dia ada disini. Dia mendatangiku. Dia menyeret kakinya, dia ………..oh tidak !!!”
“Kuharap kau bias tenang,” Kemudian Ana terdiam “Dan sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi padamu.”
Perlahan-lahan aku mencoba mengatur nafasku yang tersengal-sengal.
“Dia-dia mendatangiku” kayaku berbisik ngeri.
“Dia ? Dia siapa maksudmu ?,”
“Willy,” kataku lepas dan tegas.
“Willy ?!!?” Ana terperanjat berpindah tempat duduk. “Apa maksudmu, mungkin kau hanya bermimpi bertemu dengannya. Willy sudah meninggal.”
Aku mengenggam tangan Ana, “Ana ku mohon tolong percalah kepadaku, ini memang tida masuk akal tapi setidaknya kau mau mendengarku dan…”
“Ya….ya baiklah, aku akan mendengarkan semua ceritamu dan kemudian mempercayai cerita itu,”
Aku kembali meneguk air yang ada didalam gelas di genggaman tanganku.
Aku sedikit tenang. “Thanks,” kataku kemudian.
Ana menatapku, “Kau bisa memulainya”
Aku membalas tatapannya. “Baiklah,” kemudian aku diam sejenak mencoba mencari kata sebagai permulaan yang baik yang dapat diterima oleh Ana, karena ku tahu ini bukanlah hal yang mudah.
“Willy memang sudah meninggal dalam kecelakaan itu, tapi inilah kenyataannya, dia selalu mendangiku, menghantuiku, mencoba menggapiku dan hal lainnya yang sama sekali tidak mudah untuk kuatasi sendiri.” Aku kembali emosi. “Dia berkata seolah dia telah mengenalku sejak lama.
Ana mendengar dan melihat keseruisanku, “Kau serius ?”
“Tentu. Ini lebih dari serius dan…..oh….ini benar-benar buruk. Ini merupakan satu-satunya hal dan mimpi kenyataan.


6
Malam ini aku tidak bisa tidur. Rumah ini terus membuatku takut. Aku takut kalau Willy akan dating menemuiku lagi. Entah bagaimana caranya, yang pasti dia akan dating dan dia bukan manusia lagi, tetapi dia adalah arwah yang bergentayangan yang meminta pertoolonganku. Entah itu apa?
Tapi akhirnya aku tertidur juga, sebentar. Aku terbangun karena mendengar pekikan nyaring. Pekikan itu suaraku sendiri.
Aku tidak berada di tempat tidurku lagi.
Aku mulai berdebar-debar. Apa yang terjadi?
Sebilah sosok yang tingginya kurang lebih sama denganku,hanya kurus, kini berada di atasku. Seorang laki-laki, tapi wajahnya tidak terlihat, itu karena cahaya membutakan yang menyorot. Aku hanya bisa melihat pakaian yang dipakainya.
Aku terbelalak ngeri.
Pakaian itu!
Ku coba duduk tegak.
Tapi aku tak bisa bergerak.
“Pergi! ” teriakku.
Tapi tak ada suara yang keluar.
“ Tenang ” kata laki-laki itu. Suaranya yang berat menggema ditelingaku, seperti suara kaset yang sudah rusak.
Jantungku berdebar kencang sekali. Aku ingin melompat, kemudian lari, tapi aku tidak bisa menguasai diriku.
“Ini mimpi buruk! Mimpi buruk yang mengerikan!”
“Kenapa tiap kali aku datang padamu, kau menganggap ini mimpi buruk.“ kini suara itu terdengar untukku.
“Kenapa kau selali menggangguk?! “ tanyaku ngeri.“ siapa kau?“
“Kenapa kau masih bertanya Rossa! Ini aku ! Aku yang membutuhkan pertolonganmu! “ Suara itu seakan meneriakiku. Aku terkesiap dengan kata-kata itu.
“Willy!?“ kataku kemudian.
Wajah itu kini sudah ada didepan mataku. Sangat dekat. Tapi hembusan nafasnya tak terasa.
“Ya“ jawabnya singkat.
“Tidak!“ aku berteriak sekuat tenaga. “Tidaaaak….!!!“ dan mendadak aku bisa bergerak. Aku duduk tegak di tempat tidur. Terengah-engah.
Keringat membasahi pipiku.
Dengan ngeri aku menatap wajahnya.
“Kenapa kau selalu menggangguku?“ Hah…! Suaraku terdengar normal. Ada apa? Kenapa?
“Aku ingin kau mendengar semua ceritaku, karena hanya kau yang bisa membantuku.” Kini suara Willy terdengar normal. Layaknya dia belum meninggal.
Aku mempertimbangkan kata-katanya. Apa aku harus mendengar ceritanya dan menolongnya? Atau sebaliknya. Tapi hal bodoh apa lagi yang akan terjkadi jika aku mau membantunya atau tidak?
Aku harus bagaimana?
Apa yang haru aku lakukan?
Tak lama kemudian Willy bersuara.
“Apa yang kau pertimbangkan? Aku akan sangat berharap akan jawaban dan pilihanmu.”
Aku berfikir keras. Aku berfikir jawaban apa yang harus aku katakana pada Willy. Mungkin pada akhirnya aku harus mengambil keputusan.
“Baiklah. “ kataku lemah.“ tapi apa alasanmu memilihku, bukan orang lain? “
“Suatu saat nanti kau akan tahu dengan sendirinya.“
Semua berlalu dengan cepat! Dan tak aka nada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal yang tak aku bayangkan sebelumnya kini menjadi kenyataan.
Ya! Willy!
Kini dia bukan lagi sosok yang menyeramkan bagiku. Sekarang, setelah aku mendengar semua ceritanya aku menjadikan dia sosok seorang teman baru. Dan sekarang aku sudah mengerti mengapa dia memilih aku untuk membantunya. Membantu menyelesaikan perkara kematiannya.
“Uh…..ini berat.“ gumamku.
“Hai, apa yang sedang kau lakukan? “ suara itu terdenbgar aneh. Tapi bagiku tidak! Karena itulah suara teman baruku. Willy!.
Aku menatap bangku sepi disebelahku. Ya, disitulah Willy duduk bersamaku yang beru saja dating. Entah dari mana.
Sesaat aku terkejut akan kedatangannya yang tiba-tiba. Namu aku harus terbiasa dengan hal baru ini.
“Kau bodoh! “ tukasku.“ kau ini hantu, tapi kau tidak dapat membaca fikiranku sama sekali. “
“Kau lupa? “ kata Willy.
Keningku berkerut membuat beberapa garis.“ lupa akan apa? “ tanyaku.
“Aku memang hantu… “ kemudian Willy diam sejenak. “ Tapi walaupun begitu, aku tidak punya kekuatan apa-apa, termasuk membaca fikiranmu sekalipun. “
Aku mengangguk faham akan maksudnya. ”Emm…..maaf, Willy.“ kataku. “Tapi aku tetap merasa aneh dan belum terbiasa.”
“Tak apa, aku tahu ini sulit bagimu“ kata Willy yang selalu memberikan senyumannya padaku. Meski senyuman itu hanya aku yang bisa melihatnya, dan aku berharap hal itu akan membuatnya merasa senang. Paling tidak ada teman dari dunia yang berbeda.______

Aku sangat terkejut ketika mendengar suara ayng bertanya padaku.
“ Kau bicara dengan siapa Rossa?“ Tanya Ana dengan suara tegang.
Aku menoleh ke arah pintu. Kudapati Ana sedang berdiri disana dengan setumpuk buku di tangannya
Ana memasuki ruangan yang ku tempati. Pandangannya kearah seluruh ruangan. Kurasa ia mencari seseorang yang menjadi teman bicaraku.
Kucoba tampak biasa-biasa saja ketika Ana menghampiri tempat dudukku. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Aku memang sedang bicara, tapi….itu hanyalah sebuah drama yang akan aku mainkan. Yeah…..bagian dari ceritanya. “ kataku sedikit gugup.
“ Yeah…..kuharap memang bagitu.” Kata Ana kemudian Ana duduk di bangku tepat disampingku. Di bangku yang tadinya ditempati oleh Willy.
Dimana Willy? Kataku dalam hati.
Kini pandanganku kuarahkan keseluruh ruangan. Mencari Willy yang kini sudah tidak lagi bersamaku. Entah kemana perginya.
“Ada beberapa bangku kosong”, kataku tapi dimana dia?“ gumamku pelan.
Ana tak mendengar gumamanku, ia sibuk dengan buku-buku yang dibawanya.
“Semua ini buku yang akan kau pelajari?“ aku memilah-milah beberapa buku besar setelah aku tak menemukan Willy dimanapun.
“Tentu saja tidak, aku hanya ingin membawanya pulang, dan menyelesaikan tugasku.“
Sebenarnya aku masih mencari-cari Willy ….. aku bertanya-tanya dalam hatiku, apakah Ana juga bisa melihat Willy.
Tapi jika memang dia bisa melihat Willy, kenapa dia masih bertanya aku bicara dengan siapa? Gumam batinku.
Aku tak ingin Ana tahu tentang semua rahasaiaku, meski dia sahabatku. Dan mungkin bisa dikatakan, sedikit banyak dia tahu tentang Willy. Tapi belum saatnya dia tahu bahwa aku bisa melihat Willy.
Ana menatapku. Ia mengayunkan tangannya di depan wajahku. “Hei, apa yang kau lamunkan?”
Aku tersadar dari lamunanku “E…..eh, aku hanya berfikir apa aku akan mendapat tugas sebanyak yang kau kerjakan.” aku telah berbohong.
“ Kurasa tidak, kau mahasiswa berprestasi“ katanya beletuk.
Aku mengerutkan kening. “ Hubungannya apa?“
“Dosen akan sangat sayang dan berfikir berulang kali jika ingin memberi tugas sebanyak ini, karena kau sudah menjadi Asisten Dosen. “kata Ana panjang lebar.
“Aku masih belum mengerti?“ kataku berlagak bingung.
“Jika tugasnya dari dosen kau sudah dapat bocorannya.”
“Weell…..itu masalahnya?, jika memang begitu aku berharap ini akan benar-benar terjadi.“
“Ok, aku harus menyelesaikan tugas-tugas ini dan mengembalikan buku-buku ini tepat pada waktunya.” Kemudian Ana Melangkah pergi.
“Kemana?“ kataku.
“Pulang ”
“Lalu, kenapa kau datang kemari, apa hanya ingin pamit pulang dan memberi tahuku akan tugas-tugasmu“
Ana memutar tubuhnya.
“Tadinya ku fikir begitu. Tapi kulihat kau aneh. Mungkin karena drama yang akan kau mainkan nanti?! “
“Mu-mungkin “ kataku sedikit gugup.
Akhirnya Ana pulang terlebih dahulu. Ia menghilang disudut lorong kampus bersama buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan.

7
Aku memasukkan kunci rumahku tepat pada lubangnya. Tapi kunci itu terlepas dari tanganku. Aku sangat terkejut, sesaat aku melihat ponselku berbunyi.
“Ayah ! “ kataku semangat.
“Halo, Ayah. “ Aku sangat bersemangat.
“Halo Rossa, apa semua baik-baik saja?“
Aku membuka mulutku, ingin mengatakan semuanya tidak baik-baik saja. Pulanglah lebih cepat. Aku ingin menceritakan semua yang telah terjadi disini.
Tapi aku tidak bisa mengatakannya pada Ayah maupun Ibu dan Ranggi. Tidak bisa, lagi pula aku tahu mereka tidak akan mempercayainya. Siapa yang akan percaya cerita gila macam ini?.
“Baik“ jawabku. “semua baik-baik saja, yah.“
Kami berbicara beberapa menit. Aku menceritakan bahwa Ana dan Martin selalu menemaniku. Ayah mengatakan sesuatu, tetapi kau tak bisa mendengarnya dengan jelas. Sambungannya terputus-putus.
Aku mengatakan bahwa Ana dan Martin selalu menemaniku. Ayah sepertinya tidak bisa mendengarnya.
“Siapa? “ suara di telepon terdengar pecah.
“Ana “ ulangku.
“Ayah tidak bisa mendengarmu.” Teriak Ayah.
“Sebaiknya Ayah menutupnya. Kami akan pulang dua minggu lagi.“
Lalu, sunyi. Sambungannya putus.
Ketika aku meletakkan telepon. Aku gemetar. Aku benci berbohong kepada orang tuaku. Tapi apa ada pilihan lain?
Semua akan kemabali normal, dan Ayah, Ibu, juga Ranggi akan tahu saat mereka pulang nanti. Orang tuaku akan tahu siapa sebenarnya Martin dan takkan menganggapnya orang yang penting dalam hidupku. Kataku dalam hati.
Aku mengambil kunci pintu yang terjatuh, setelah lama kau berdiri disana. Kini aku memasukkan tepat pada lobangnya. “krek!“, pintu telah terbuka.
Tubuhku membeku ketika kulihat ada cahaya yang menerangi ruangan didalam rumahku. Hanya satu titik cahaya, tapi menerangi seisi rumah.
Masih menggenggam pegangan pintu, aku melayangkan pandangan keseluruh ruangan.
Kudengar suara menggumam. Sangat pelan. Kedengarannya jauh sekali. Disusul suara gesekan-gesekan sepatu diatas beton.
“Hei, ada orang disini?“ aku berusaha menyalakan lampu, dan kini ruangan menjadi terang. Namun suara menggumam dan gesekan sepatu itu masih tetap terdengar.
Sekarang aku mulai berfikir. Hanya ada satu hal yang dapat membuat suasana rumahku seperti ini.
“Willy? Kau kah itu?“ panggilku. Suaraku seperti tertelan kesunyian malam. “Willy?!!!.....“
“Willy? “ suara itu terdengar pecah.
Aku sangat terkejut. Aku menoleh kearah suara itu berasal. Dan aku lebih terkejut lagi saat ku tahu siapa yang mengeluarkan suara itu.
“Ana? “
“Apa maksudmu, Rossa?“ Ana menatapku tajam. “Apa ini benar-benar kau dan kehidupanmu?”
Aku menyerah. Kulihat Ana cukup mengerti tentang hal ini. “ Oke. Jadi ini bukan Willy.“
“Apa yang kau sembunyikan dariku?“
Suara itu terdengar terasa menekan. Memberiku beban diantara dua pilihan. Dan sekarang! ……., aku harus menentukan dan mengambil pilihan itu.
“Maaf. ” kataku lagi. “ Aku memang menyembunyikan sesuatu darimu, tapi aku berniat menceritakannya setelah semuanya terungkap. “
“ Terungkap? “ suara Ana masih terdengar bergetar emosi.
Aku bingung. Aku tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana. Semua terasa menyulitkan posisiku. Aku terus berfikir keras, hingga akhirnya Ana tak lagi mengganggapku sebagai seorang teman.
“Ok, kau tek berniat menceritakannya kepadaku. Dan…….sebaiknya aku pulang.” Ana melangkah menuju pintu.
“Well……” kataku menghentikan langkahnya. “tapi sebelum kau mendengar ceritaku…….” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Ana berbalik dan menatapku penuh pertanyaan. “aku mau kau berjanji!”
“Janji apa?”
“Duduklah. Ini memang terlihat tegang, tapi aku mau kau rileks.” Kataku berusaha menenangkan diri.
Ana mengikuti kata-kataku dan sekarang ia sudah siap mendengar ceritaku.
Setelah beberapa saat aku menceritakan semuanya, Ana mengangguk faham akan maksudku.
“Hhh! Jadi sekarang kau berteman dengan makhluk alam lain?! Ini seru.”
Aku menatap Ana terheran-heran. Ia tidak takut sama sekali. “Mungkin” kataku. “Dan kurasa lebih tepatnya berteman dengan hantu korban kecelakaan……”
“Dan lebih tepatnya korban pembunuhan.” Ana menyela ucapanku.
Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya keras-keras. Ana melihat reaksiku.
“Kau merasa terbebani dengan semua ini?”
“Ya, dan jika posisi ini ada padamu apa yang akan kau lakukan?”
“Aku?” Ana menunjuk dirinya sendiri. “Aku akan melakukan hal yang sama dengan apa yang kau lakukan. Dan hal ini kuanggap tugas dan tanggung jawab besar.”
Aku berdeham. “Tapi ini tidak mudah.”
“Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi…..seperti kataku tadi. Jika aku jadi kau, aku akan menganggap ini tugas dan tanggung jawab besar dan tentunya butuh seorang teman untuk menyelesaikannya.”
“Teman? Kau mau membantuku?” tanyaku tak percaya.
“Sudah berapa lama kita berteman?” Tanya Ana.
“Sudah lama. Tapi…..untuk hal ini sekalipun?” tanyaku masih tak percaya.
“Kenapa tidak. Ini seru kan!!!”
Aku tertawa lega. Paling tidak untuk saat ini ada yang mempercayai ceritaku dan mau menolongku untuk keluar dari masalah ini . ______
“ Ini dia, tempat itu.” Kata Ana.
Aku menatap tempat itu. Tempat parker.dan ingatan tentang kejadian itu melintas sangat cepat. Membuat tuvuhku seperti menggigil.
Ana menepuk bahuku. “Kau kenapa?”
“Tidak.” Kataku menggeleng.
“Kau yangkin ingin melakukannya?”
“Sebenarnya tidak. Tapi entahlah…..aku tak pernah mengenal siapa itu Willy, tapi…..ada suatu hal yang memaksaku harus menolongnya.”
“Well…..ini aneh.” Gumam ana.
“Ok, kita akan memulainya” kata Ana mengajakku. “Sekarang! Apa kau yakin di sini tempatnya dan kau benar-benar tidak melupakan kejadian itu kan?!”
“Persisnya tidak, tapi biarpun begitu kita perlu bukti untuk lebih meyakinkan.”
“kau benar. Ya…..bukti” kemudian Ana memutar bola matanya. “Nah…..!!”
Aku terkejut dengan reaksinya.” Apa?”
“Sudah, ikuti aku. Nanti kau akan tahu.”
Ana melangkah pergi meninggalkanku. Ia menuju toko perlengkapan. Aku mengikutinya dari belakang.
“Maaf…..” katanya ramah kepada kasir toko itu.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” balas kasir itu ramah. Sementara aku hanya terdiam melongo. Bingung.
Apa rencananya kali ini? Pikirku.
“Tentu. Kami berdua sangat butuh bantuan Anda.”
“Ya, bantuan apa?” Kata kasir itu tetap ramah.
Ana menatapku, dan aku membalas tatapannya. Tapi aku masih bingung.
“Begini” kata Ana kemudian. “temanku ini sekitar satu setengah tahun yang lalu kehilangan sesuatu benda yang sangat penting. Ya, kurasa itu benda peninggalan dari keluarganya. Jadi kami kesini berniat mencarinya.”
“Satu setengah bulan yang lalu ya…. Kami tidak menemukan apa-apa disini, tapi mungkin dengan rekaman video kami kalian bisa menemukannya.”
Aku dan Ana tersenyum lebar. Diam-diam aku mengagumi Ana yang jenius dan pemberani.
“Ohhh…..kami berdua akan sangat merasa terbantu dengan adanya rekaman video itu.”
Aku berhasil.____ Tidak, ini baru dimulai.
Kemudian penjaga kasir itu menyuruh karyawan yang lainnya untuk mengambil rekaman video itu. “Tunggu sebentar” katanya ramah.
“Ya” kataku dan Ana
“Kau jenius” kataku pada Ana.
Ana tersenyum “Ini baru hal kecil.”
“Jangan sombong!” ketusku.
“Itu sebabnya ku bilang ini baru hal kecil, masih banyak hal lainnya.” Balasnya menyela ucapanku. Tak lama seorang karyawan dating membawakan rekaman video yang dimaksud. “ Ini rekaman video yang kami maksud, semoga ini dapat membantu kalian untuk menemukan yang kalian cari”
“Tentu. Dan terima kasih banyak atas bantuannya, ini akan sangat membantu” kata Ana sambil mengangkat rekaman video yang berada di tanganya.
Kemudian kami berdua keluar dari toko perlengkapan itu. Sesaat kemudian, “Tapi…..aku sepertinya akan kembali masuk ke dalam. Sebelum berpetualang aku ingin membeli sesuatu.” Kata Ana.
“Ya…..jangan lama-lama, aku akan menunggumu disini.”
“Tidak lama.” Kemudian Ana kembali masuk ke toko perlengkapan itu, dan masuk membawa rekaman video itu.
Benda itu tak ada ditanganku dan aku juga tidak tahu persis apa isi rekaman video itu. Apakah yang kami maksud atau bukan.________

* * *

“Siapa kau?” tanyaku marah. “Lepaskan aku.” Dua lelaki dewasa telah memengang kedua tanganku.
“Diam kau!!” bentaknya. “Ikut kami sekarang !”
“Tidak! Siapa kalian!” teriakku. “Apa mau kalian?”
Mereka berdua tak memperdulikan teriakanku. Mereka menyeretku ke dalam sebuah mobil. Aku melihat wajah mereka, dan aku ingat siap mereka. Ya. Mereka adalah orang-orang yang ku lihat sebulan yang lalu. Mereka yang berada di bawah mobil Willy. Mereka menculikku. “ Aagh…” Jerit ku menahan sakit dan kemudian aku terkulai lemas. Aku tak tahu apa lagi yang terjadi denganku. Aku tak sadarkan diri.
Saat aku membuka mataku, aku telah berada disuatu tempat yang pengap dan gelap. Hanya ada beberapa cahaya yang masuk kedalam ruangan dan itu karena lubang-lubang kecil yang menghiasi atap bangunan ini.
“Ini…..mustahil!” kataku tersentak.
“Ha…..ha…..ha…..” Suara orang tertawa sangat lepas. Aku mencari-cari arah suara itu ditengah gelapnya ruangan. Aku menemukannya. Dua orang tadi!
“Mau apa kalian?” tanyaku ketakutan.
Salah satu diantara dua orang itu mencengkeram lenganku. Aku meronta-ronta. “Lepaskan aku! Lepaskan!”
Seorang lagi melangkah kearahku dan memegangi lenganku yang satunya. “kau tak mungkin menang. Jangan coba-coba melawan kami.” Ejeknya.
“Tidak!” kataku. Kusentakkan satu lenganku dan aku lepas. “Hi-ya!” kuhantamkan pergelangan tangan orang itu dengan pukulan karate dan kusentakkan lenganku yang satunya. Sambil merunduk aku lari kesebuah meja.
Tapi sialnya aku kurang rendah membungkuk.
Duk!!! Kepalaku terbentur ujung meja.
Aku terjengkang. “Aduuh!” erangku. Kulihat dua orang itu tidak apa-apa. Kini mereka mendekatiku lagi, lalu mereka menyeretku lagi ke tempat duduk dan mengikatku.
“Lepaskan aku!” teriakku. “Aku mengingat kalian. Kalian orang-orang yang kulihat sebulan yang lalu ditoko perlengapan tadi. Siapa sebenarnya kalian dan mau apa kalian?”
Kedua orang itu mencengkramku lebih erat. Dan salah satunya bersuara. “Nanti kau akan tahu.” Katanya.
“Tentu!”
Siapa ? Siapa yang mengatakan ‘tentu’ itu?
Sosok itu mendekatiku. Cahaya suram jatuh diwajahnya yang merah padam.
Dan aku terpekik kaget.

* * *


8
“MARTIN ????!!!”
“Mundur!” kata Martin, “Menjauh dari gadis itu!”
“Baik” kedua orang itu menjawab serentak.
Cepat berpikir! Perintahku kepada diri sendiri. Cari jalan keluar!
Kulihat Martin tersenyum puas. Ia semakin mendekatiku “Apa maumu Martin!?!” tanyaku ketakutan “Kenapa kau menculikku, apa salahku?”
“Apa mauku ?” Martin mengulang kata-kataku tadi.
Ia berlagak seperti polisi yang menakut-nakuti narapidana yang kabur dari sel tahanan.
“Martin, aku tidak melakukan kesalahan apapun, bahkan aku tidak melakukan semacam perselingkuhan dibelakangmu”
“Rossa..Rossa.., kau memang tidak melakukan kesalahan apapun, sedikitpun tidak Rossa” Martin menghentikan ucapannya, tapi seketika ia menjambak rambutku dan berkata “Tapi kau sangat berbahaya Rossa..!!”
“Aaakhh.,..” aku berteriak menahan sakit yang bersarang di kepalaku. “Martin lepaskan aku !! Aku tidak tahu apa maksudmu, a-aku berbahaya apa maksudmu Martin!”
Martin melepas genggaman tanganya di kepalaku “Oh jadi kau masih bertahan untuk terus berpura-pura dalam situasi seperti ini ?!”
“Rossa…Rossa, jadi kau tidak tahu mengenai Willy? Kau tidak ingat tetangga kecil, sahabat kecil yang telah menolongmu hingga pelipisnya terluka dan meninggalkan bekas luka..? masih belum ingat siapa Willy sebenarnya?!!?”
Aku membeku
Aku benar-benar terpaku, aku memegang kursi yang bersamaku, aku melihat kembali dalam ingatanku sepasang anak kecil yang berlarian ditepi dataran tinggi, hingga akhirnya anak perempuan itu terjatuh. Anak laki-laki itu mencoba menolong tapi pelipisnya menyentuh dahan yang tajam, hingga akhirnya pelipis itu berdarah dan meninggalkan bekas luka.
Itu aku!
Itu AKU dan WILLY!
Aku mengkatupkan sederet gigi-gigiku. Sangat rapat. Tatapanku penuh kemarahan…penuh kebencian. Aku membenci orang yang ada dihadapanku saat ini.
Aku terbayang saat aku bertemu Willy pertama kali di toko perlengkapan itu. Dia benar-benar Willy. Pelipis itu buktinya. Dia telah menolongku, tapi kenapa?
“Brengsek kau Martin!! Kau jahat Martin!! Mengapa kau melakukan semua ini!!? Mengapa?”
Aku terus meronta mencoba melepaskan diri, dan setelah itu aku sangat ingin membunuh Martin.
Tapi aku tidak bisa. Aku tidak mempunyai sejumlah tenaga untuk melawan mereka. “Mereka memang bajingan!!”
Martin berlagak tenang melihat reaksiku. Ia seolah-olah sudah terbiasa dengan hal semacam ini.
“Ya…ya…kau memang belum menngetahui motif dari masalah ini. Baik bersabarlah aku akan menceritakan padamu dan tak kan ada yang terlewatkan. Sedikitpun”
“Semua ini dimulai dari Ayahku dan Ayahnya Willy,”
Aku memicingkan mata kebencian “Apa maksudmu !?”
Wajah Martin berubah mendung. Ia menitikkan air mata.
Aku tersentak
Ada apa dengannya?
“Ini semua karena Ayah sangat berambisi untuk memenangkan sebuah perusahaan melalui presentasinya. Namun yang memenangkan presentasi itu adalah ayah Willy. Dan kau tahu Rossa betapa hancurnya perasaan Ayahku pada saat itu, hingga ia merasa putus asa dan …dan Ayah mengakhiri hidupnya!!! Kau dengar itu Rossa!!!”
Martin tampak sangat emosi.
“Dan kau tahu Ibuku sekarang tidak bersamaku, dia sekarang berada di rumah sakit jiwa karena dia tidak ingin Ayah pergi!!”
Aku tidak dapat berkata apa-apa. Semua ini terasa begitu berat. Baik untukku maupun Martin.
“Jadi kau pikir dengan membunuh Willy, masalahmu akan selesai?! Ayahmu tidak bisa hidup lagi kan? dan Ibumu juga masih belum sembuh?. Seharusnya kau dan Ibumu juga Ayahmu bisa menerima kekalahan. Menang atau kalah tetap harus kau terima karena hal itu wajar.”
“Kau memang benar Rossa, menang atau kalah memang hal yang wajar, tapi tidak untuk Ayahku! Aku puas dengan melenyapkan Willy. Ini hal yang seimbang kan…?! Ayahku mati dan Willy juga mati. Dan kau Rossa, kau telah melihat kecelakaan itu. Kau adalah saksi kunci Rossa. Kau berbahaya”
Tidak, ini benar-benar kejam. Pikirku
“Kau sinting Martin! Dengan membunuh Willy kau bilang ini seimbang?! Ini antara Ayahmu dan Ayah Willy, bukan antara Ayahmu dan Willy. Kenapa harus Willy yang menjadi korban?!”
“Ha…ha…ha” Martin tertawa seolah-olah ada hal yang lucu.
“Jadi kau baru tahu kalau aku sinting Rossa” Martin mendekatiku “Kenapa kau bodoh Rossa?”
“Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini!” Kataku geram,
“Polisi pasti akan menangkapmu dan kau akan membusuk di jeruji besi”
Martin tersenyum licik ke arahku “Kau yakin itu sayang? Kau yakin polisi akan menangkapku dan membawamu pergi dari tempat ini??”
Aku berusaha meralat kata-kataku “Mungkin tidak polisi” kataku, “Tapi Willy yang akan datang menolongku”
Martin mentapaku tajam. “Maaf? Siapa yang akan menolongmu?,”
Aku membalas tatapannya, “Willy!” kataku tegas.
Martin mulai kasar lagi terhadapku. Ia menarik rambutku lagi
“Aaakkhh……!” teriakku
Rasa sakit yang sama kembali menyerangku
“Kenapa? Sakit? Kemana Willy-mu yang akan datang menolongmu?,”
“Pasti! Pasti dia akan datang sepuluh menit lagi!” aku tetap bersikeras meyakinkannya, walaupun sebenarnya aku tidak yakin akan kebenarannya.
“Rossa, itu terlalu lama. Sebelum sepuluh menit itu, aku akan mengantarkanmu menemuinya. Agar kesannya tidak merepotkan.”
Aku menahan napas ngeri. “Apa maksudmu martin?!”
“Bodoh! Kau pikir apa tujuanku membawamu ketempat ini. Kau terlalu mencampuri urusanku Rossa”
Aku terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Saat ini aku hanya merasakan ketakutan yang amat sangat. Ditambah lagi pistol yang ada di tangan Martin. Dia bisa saja melakukan apa yang dia suka. Karena dia orang yang sangat nekat. Tindakannya sangat mengerikan. Tapi semua baru aku ketahui setelah aku mengetahui siapa dia sebenarnya.
”Kenapa? Kenapa kau diam. Kau takut dengan benda ini?” kata Martin yang terus memperhatikan pistol itu. Pistol yang ditangannya ”Tujuanku membawamu ketempat ini, atau lebih tepatnya aku menculikmu adalah untuk melenyapkanmu, sama seperti aku melenyapkan Willy-mu itu, karena kau telah banyak mengetahui rahasiaku. Dan dengan pistol ini kau akan pergi ha……ha..ha……pergi menyusulnya……!!”
“Kumohon Martin jangan kau lakukan itu, hubungan kita belum berakhir martin, kumohon jangan……”
“Hubungan…? Kau yang telah membuat hubungan kita berakhir. Dan kau tahu? Ini akan berakhir tragis!!!!”
Aku melihat jam di tanganku “Willy kumohon datanglah, aku butuh bantuanmu. Willy kumohon…” jeritku dalam hati
Waktu ditanganku sudah hampir melewati batas sepuluh menit. Aku bingung tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini? Pikirku putus asa.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata Willy, ”Aku memang roh yang bergentayangan, tapi walaupun begitu aku tidak punya kekuatan apa-apa”
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku,
Martin menyodorkan pistolnya kearah kepalaku
“Bagaimana Rossa, apa kau siap menemuinya?”
Kupejamkan mataku dengan gemetar. Willy aku akan menyusulmu? Jerit batinku dalam hati.
Aku menitikkan air mata.
“DOOOR….!!”


9
Aku membuka mataku perlahan-lahan, kepalaku terasa sangat pusing. Kucoba mengamati langit-langit ruangan.
“A-aku dimana?” erangku
“Kakak!, syukurlah kau sudah sadar. Kau dirumah sakit”
Aku melihat anak kecil disampingku “Ranggi ?”
Kami kemudian berpelukan penuh haru. Aku menitikkan air mata.
“Kau sendiri? Kemana Ayah dan Ibu?”
“Oh Ibu menemui dokter, sedangkan ayah dan Ana dimintai keterangan atas kejahatan Martin”
Seketika wajahku berubah penuh rasa benci dan dendam. Aku benci mendengar nama Martin. Begitu bencinya, kurasakan sakit dibagian keningku yang diperban akibat kerutan kening yang kubuat.
“Martin, awas kau!!” kataku geram
“Sudahlah kak, percuma kau marah seperti itu, dia sudah pergi”
Aku menoleh kearah Ranggi “Apa maksudmu?”
“Saat Martin mencoba membunuhmu, polisi datang bersama Ana dan saat polisi mengetahui Martin memegang pistol dan menyodorkan itu kearahmu, polisi langsung saja menembaknya dari arah belakang,”
“Ya Ana. Pa-pada saat itu dia tidak ikut bersamaku, hanya aku yang dibawa anak buahnya martin”
“Ya polisi datang tepat waktu”
“Apa katamu? Tepat waktu? Jika polisi-polisi itu datang tepat waktu, saat ini tidak mungkin ada perban dikepalaku!”
Aku melihat Ranggi tertawa kecil mendengar ucapanku.
“Ya…ya… kau benar, mungkin ada luka tersenyum dikepalamu. Lantas apa ya kau lakukan hingga kepalamu seperti itu?”

Aku tertingat akan kejadian hal memalukan itu “A-aku ……mencoba karate menghajar anak buahnya Martin. Setelah aku berhasil menghajar mereka, aku mencoba kabur, tapi…aku terlalu menunduk hingga akhirnya aku terjengkang karena menabrak sudut meja.”
“Wow! Itu seru! Aku pasti bisa mengelahkan mereka” Ranggi justru berteriak histeris.
“Ini bukan semudah bermain game Ranggi. Kau akan sulit mengalahkan mereka. Tubuh mereka seperti Rambo dan kau tahu porsi makanan Rambo?!”
“Ya…ya… aku mengerti posisimu pasti sangat sulit”
“Begitulah” jawabku lemah.
“Rossa putriku……!” Ibu datang memelukku dengan erat.
“Ibu……” kataku membalas pelukan ibu dengan erat.
“Maafkan ibu. Ibu yang telah mengenalkanmu pada Martin. Dan akhirnya harus seperti ini”
“Sudahlah bu…, ini bukan salah ibu atau siapapun. Tapi…” aku tidak melanjutkan kata-kataku
“Tapi apa Ross?”
Aku diam sejenak. “ Ibu tahu mengenai Willy kan? kenapa ibu tidak memberi tahuku dari awal ? Kenapa ?”
“Maafkan ibu Rossa. Kalau saja willy tidak di bunuh oleh Martin, ibu sudah berniat menceritakannya padamu. Tapi ketika ibu tahu willy yang mengalami kecelakaan itu, ibu….. tidak sanggup menceritakannya padamu. !!”
“ Rossa. ”
“ Ayah !”
“Bagaimana keadaanmu ?”
“Sudah sedikit membaik. Ayah juga menngetahui mengenai willy ?“ Tanyaku,
Ayah mengangguk pelan “Ya. Maafkan ayah. Ayah tidak bermak……..“
“Sudahlah Yah. Dia sudah pergi. Ini bukan salah kita. Ini takdir. “Aku memotong perkataan Ayah,
“Kau benar Ross, diantara kita tidak ada yang salah. Tapi masih ada satu hal lagi yang harus kau selesaikan.“
“Apa ?“ Aku bertanya pada Ana.
Ana meronggoh sakunya, “Ini untukmu.“ Ia menggeluarkan sepucuk kertas putih.
Aku Membuka lipatan kertas itu.
Ini surat. Kataku dalam hati.

Surat dari………

Rossa……..
Maafkan aku. Maafkan atas semua yang telah terjadi. Ini bukan keinginanku, juga bukan keinginanmu. Sebenarnya aku sudah tahu dirimu. Dan dipertemuan itu aku juga sudah tahu siapa kau sebenarnya.
Tapi…….. aku memang bodoh, tidak mengatakan semuanya dari awal, hingga pada akhirnya kita harus terpisah seperti ini.
Ross……. Terimah kasih atas segalanya. Atas semua pengorbananmu. Kau telah membalaskan dedamku.
Aku ingin berterima kasih kepadamu. Temuilah aku di nisanku. Aku ingin bertemu denganmu. Dan seperti biasa, waktuku hanya sepuluh menit.
temuilah aku.
Yakinlah, kau pasti akan menemukanku.

Willy
________
Aku Membaca surat itu dengan deraian air mata. Aku tak kuat melawan semuanya. Batinkun perih. Aku menatap ke arah Ana.
“ Aku bisa melihatya, Rossa “ kata Ana. “Pergilah, ia menunggumu.”
Aku beranjak dan berlari sekuat tenaga meninggalkan keluargaku. Mereka menyusulku. Mereka mengkhawatirkanku.
Kakiku gemetar hebat dan jatuh terkulai lemas. Saat aku telah tiba di batu nisan orang yang benar-benar sangat berarti dalam hidipku. Aku tertunduk tak berarti.
“Rossa,“
Suara itu.
Suara itu menyebutkan namaku. Aku menoleh karah suara itu berasal dengan deraian air mata.
“Willy ?”
Aku mameluk tubuh willy yang hanya maya.
Begitu erat. Tapi aku dapat merasakannya.
“Hanya sepuluh menit. Rossa“ kata willy. “Kita tidak akan bertemu lagi. Kau dan aku bukan satu kehidupan.
“Tidak ! Tidak willy aku akan ikut bersamamu. Kemanapun. !“
Aku menyentuh pelipis willy yang meninggalkan bekas luka. Itu semua karena pengorbanannya untukku.
“Jangan Rossa !! kau tidak bisa ikut bersamaku. Dunia kita berbeda. Terima kasih untuk apa yang telah kau lakukan dan yeah……….. kau membuat Martin tertembak mati. Paling tidak aku akan bertemu dengannya. “
“Bukan aku, tapi polisi yang telah menembaknya. Aku akan tetap bersamamu. “
Willy memandang ke arah keluargaku. “ Lihat itu! orang-orang yang menyayangimu telah menunggu. Tegakah kau meninggalkan mereka ? “
Sesaat aku memandang keluargaku. Mereka bersedih. Mereka ikut bersedih atas kepergian Willy.
Willy mengakhiri kata-katanya, sepuluh menit telah berlalu. Pelukkanku mulai melonggar. Kini ia mencoba menghilang dengan menjauhnya bayangan itu.
Aku terus mengikuti.
Terus berlari.
“Willy ! panggilku tak tertahankan
Aku terus mengikuti bayangan itu.
“Rossa……….. awas !!!“
Ku dengar samar-samar keluargaku berteriak untukku. Aku tak menghiraukan teriakan itu.
“Rossa……….!!!!”
Dan kini aku……….
“ CREESSSZZZ…………. !!!”
Tubuhku hancur berkeping-keping karena kareta api yang menyambar tubuhku.
Aku tersenyum dalam bayangan.
Bayangan bersama willy.
Kini aku telah menyusulnya.
Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk merubah segalanya.
Selamat tinggal Ayah, Ibu, Ranggi dan juga Ana, sahabatku. Kalian tak akan tergantikan.
Selamat tinggal semuanya.



___TAMAT___